Tuesday, December 11, 2018

Trip Travelingku : Gunung Sumbing dan Kenangan Rindu

Mendaki Ke Sumbing? Siapa Takut!



Sebenarnya, pendakian ini adalah rencana mendadak. Kurang dari satu minggu kami mempersiapkannya. Aku inget, malam waktu itu kami -aku dan Mas Anis, teman satu organisasi- sedang ngopi santai di tongkrongan favorit kami. Garagara ngobrolin fotografi, dia mengajakku naik gunung. Awalnya mau ke Lawu. Tetapi entah karena suatu hal, tibatiba ia mengalihkan jalur ke Gunung Sumbing. Well, aku belum pernah sekalipun naik gunung. Paling mentok Gunung Muria yang terdekat dengan rumahku.
Akhirnya, dengan pengetahuan yang kosong melompong, aku pun mengiyakan ajakan tersebut! Deal ikut. Asli, aku enggak tahu siapa saja partner yang akan mendaki bersama. Semua yang ngurus Mas Anis.

Hingga tiba waktu yang dijanjikan. Hari kamis malam, hujan yang mengguyur basah seluruh kota Yogya, tidak menghalangi niat kami sekalipun. Hanya bermodal kenalan lewat grup chatt yang telah dibuat Mas Anis sebelumnya, aku maksa banget minta dijemput orang yang bernama Arai.  Sampai akhirnya, aku tahu ini orang selain cakep, juga asik banget. Entah karena bercandaan apa, kita berdua jadi papa-papaan. 😅 Iya, dia nyuruh aku manggil dia 'Papa'. Eit tapi aku tetep santai dan enggak baper ya....

Jadilah kita bertiga - aku, Mas Anis, dan Papa - berangkat dari Yogya dengan motoran selepas waktu isyak. Ternyata, Mas Anis ngajak temennya yang lain dari Semarang. Kita janjian ketemu di pertigaan jalan utama kecamatan Secang, Magelang. Aku enggak tahu sih apa nama jalannya. Pokonya di situ kita ketemu.
Jam sepuluhan kita sampai di sana, ketemu sama si Herman. Terus ngisi perut yang udah teriak-teriak kelaperan.

Lanjut... Setelah kenyang dan mereka para lelaki puas dengan sebatsnya (red: rokok) kita melanjutkan perjalanan yang masih tetap ditemani hujan rintikrintik. Hingga sekitar jam satu dini hari, kami telah tiba di basecamp pendakian via Garung.  Sisa dingin dan gelap waktu itu kami habiskan dengan terlelap nyenyak.

Jumat pagi yang sangat dingin. Tapi alhamdulillah pagi kala itu cerah. Jadi deh kita akan mendaki dengan damai. Pagi setelah simaksi, kami sarapan seadanya di basecamp yang menjual makanan. Setelah itu, sementara menungguku bersiap diri, mereka para lelaki berbelanja ke pasar membeli logistik. Lalu repacking barang bawaan kami. Semua mendapat jatah sama rata. Oke, kecuali aku yang hanya memanggul cerriel berisi barang pribadiku. Hehe lalu siaplah kaki kami melangkah menjajaki puncak yang tinggi itu.

Sekitar jam sepuluh pagi, dari Basecamp menuju Pos 1, kami memutuskan untuk naik ojek saja. Karena menurut para lelaki yang sudah berpengalaman itu, jalur yang berupa setapak sangat tidak enak. (Yakali enak, emang makanan? :p ) sumpah, sensasi naik ojek di Garung bener-bener beda! Kita - para penumpang - disuruh duduk di depan layaknya adekadek nan imut yang sedang dibonceng ayahnya. Sedangkan tas kita digendong para driver yang ahli itu. Nggak cuma aku, Papa juga teriakteriak histeris ketika naik ojek Garung. Gimana enggak? Selain lajunya yang super kenceng, di sekeliling jalan adalah tebing dan jurang yang dalam. Deg-degan dua kali lipat. Enggak kebayang saja kalau kita sampai dibawa jatuh driver. Ya Lord aku nggak bisa bayangin!
Next, sampailah kita di pos satu.

Pos I Sumbing via Garung
(dari kiri: Mas Anis, Aku, Papa, dan Herman) 

Sedikit mual setelah turun dari ojek, kami tetap harus melanjutkan perjalanan ke barat, bukan untuk mencari kitab suci. Tetapi mencari kedamaian hati (halah, Ayunda suka ngelindur!)
Ya, tidak menunggu lama kami melanjutkan perjalanan mulai dengan berjalan kaki. Ini yang kurasakan, mendaki gunung dengan ketinggian 3.371 mdpl tanpa persiapan fisik sekalipun. Tanpa olahraga sama sekali, membuat kaki dan dan napasku tidak karuan. Baru berjalan sedikit langsung sesak dan lelah. Sampai pada akhirnya, cerrielku di gendong sama Herman. Jadi dia bawa cerriel depan belakang gitu! :(( Maap ya ngerepotin. Tapi kamu baik deh... Makasi udah mau gendong cerrielku dari perjalanan pos satu sampai pos dua 😹

Setelah kira-kira berjalan kaki selama empat jam - itupun aku banyak mengeluh dan dan minta istirahat - sampailah kami di Pos 3, alias Pestan. Banyak hal kocak yang terjadi selama perjalanan yang sehingga membuatku sering terpingkal. Iya, temanku, Mas Anis dan Papa selalu saja ngeprank tiap ada pendaki cewek yang lewat. Atau saling sahut-sahutan dengan pendaki dari rombongan lain yang sama sekali tidak kami kenali.

"Kamu... Milea ya? Aku ramal kita akan bertemu di puncak!"

Ya jelaslah, Mas, Pa! Lha wong kita samasama naik ke atas. Pastilah kita akan bertemu di puncak! Dasar Dilan gadungan.

Pestan - Pos 3

Karena hari menjelang asar, target nenda di Watu Kotak gagal. Mau tidak mau, kami terpaksa mendirikan tenda di Pestan. Setelah tenda kami kokoh berdiri, seluruh netizen yang sedang mengungsi mendirikan perkemahan di pos ini geger karena sesuatu. Apa yang menyebabkan kehebohan tersebut di belantara hutan di gunung ini?

Well, karena dipertemukannya mereka dengan Revita Gadis Amijaya. Pendaki cilik yang cantik nan imut ini. Maka berbondong-bondonglah kami mengajaknya foto secara bergantian. At least... Aku enggak tahu dan enggak paham siapa bocah cilik yang juga sama-sama terdampar di gunung bersama kami, tetapi tetap saja aku ikut-ikutan nimbrung dan mengajaknya foto bersama. Haduduhh kayak ketemu artis aja. Iya, emang artisnya para pendaki.

Revita Gadis Amijaya
Skip skip... Setelah semalaman tenda kami diacak-acak hujan dan juga badai - tapi alhamdulillah, tenda kami enggak bocor, soalnya sudah dilapisi no drops, eh - Sabtu pagi hari kami disambut oleh kabut pagi. Kabutnya cukup tebal dan membuat kami enggan untuk beranjak dari kantung tidur. Apalagi aku, malas sekali selain karena lelah, suhunya juga dingin minta ampun. Tetapi setelah sarapan dan minum segelas cokelat panas, para lelaki memaksaku keluar tenda. Fine... It's time to summit attack!

Ya Lord! Udara masih sangat dingin, kabut juga masih tebal. Tetapi mau tidak mau, sayang saja untuk pendakian pertama tidak sampai di puncak! Finally, kami berempat bersiap berangkat untuk summit. Tentu saja dengan tetangga-tetangga tenda sebelah yang dari awal perjalanan sudah lempar celotehan.

"Woi tetangga! Ayo summit, jangan molor mulu woi!"

Teriakan sahut menyahut dari dalam tenda masing-masing. Apalah aku yang hanya perempuan manis dan kalem ini? Hanya bisa menghela napas dan sesekali menyumbang tawa atas tingkah dan kekonyolan mereka.

Fiks, kira-kira satu jam pendakian summit kami, aku terpisah dari rombongan. Nasib! Mas Anis yang seorang fotografer, lebih fokus sama kamera dan objek pemandangan alam yang membentang indah itu. Lalu, Papa? Hah emang dasar seorang pujangga keren. Hatinya terpanggil untuk untuk berdiskusi mengeja setiap diksi dalam berpuisi. Yah, sementara Herman sedang bernostalgia... dia ketemu sama junior mapala dari kampusnya. Alamat semua orang sibuk dengan jobnya masing-masing, aku terdampar sendirian di alam yang liar ini.

Ah... Untunglah, aku terselamatkan. Dua lelaki anak Jakartans yang mendirikan tenda tepat di depan tenda kami mengajakku bergabung dengan rombongannya. Jadilah aku summit kesiangan ke puncak dengan mereka. Lalu, ketika kami bertiga sampai di Watu Kotak, bertambah lagi dengan rombongan lain yang berasal dari Purbalingga. Jadilah kami berenam.

Bersama sang penyelamat, Nak Jakartans!

Watu Kotak

Setelah beristirahat sejenak di pos terakhir ini, kami bergegas melanjutkan pendakian. Well setelah diskusi yang tidak terlalu sengit, kami memutuskan hanya akan menengok Puncak Cakrawala saja. Sudah tidak kuat, jika harus menuruni lembah lalu naik lagi ke Puncak Sejati. Sebenarnya cukup disayangkan, tetapi antara hati dan tenaga tidak sejalan 😑

Lagi-lagi rombongan baruku ini senang sekali berdiskusi. Memilih antara jalur lama dan jalur baru untuk menuju Puncak Cakrawala. Then, setelah dipertimbangkan, jalur lama treknya terlalu horizontal dan sangat terjal. Mereka memang baik menghawatirkanku layaknya putri kecil mereka. Alhasil, kami memutar ke kiri mendaki melalui jalur baru meskipun lebih panjang. Tetapi keputusan kami sangat membawa berkah. Kami dipertemukan dengan sumber air bersih di tengah-tengah krisis air yang melanda. Begitulah Tuhan yang Maha Pengasih, selalu memberi lebih kepada hamba-Nya yang sabar. Sumber air itu bernama "Tirta Kamandanu" jernih, segar, dan tentu saja sangat dingin.

Membasuh wajah kusamku di mata air Tirta Kamandanu

Kemudian, berdirilah kami di atas tanah tertinggi kedua di Jawa Tengah ini. Tanah yang cukup dekat dengan langit. Tanah yang menjadi saksi langkahku, bersama mereka.

View Gunung Sindoro dari Puncak Cakrawala

Buku siapa sih ini ikut kepoto di sini? 😝

Pemandangan yang tampak ke bawah dari Puncak Cakrawala

Foto kami berenam plus ada Mbakmbak cantik yang digeret
Bapak Ketua RW warga Pestan (lihat: yang botak)

Yaa seperti itulah cerita Trip Travelingku menjelajahi Gunung Sumbing sampai di Puncak Cakrawalanya. Sekitar pukul dua belas siang kami telah turun kembali ke tenda masing-masing. Well, aku celingukan tidak mendapati siapapun dari rombonganku. Syedihlaah ya masa ikut rombongan orang terus? -__- tapi tidak lama, suara Mas Anis, Papa dan Herman udah berdengung renyah di telingaku. Hahaha ternyata mereka khawatir bukan main kepadaku. Ayunda, kamu sukses membuat mereka bertiga jantungan!
Salah siapa sibuk sendiri. Eh tidak tidak... Tidak ada yang perlu disalahkan karena memang tidak ada yang salah. Semuanya sudah suratan Dewa. Elaah! Nyangkutin keberadaan Dewa.

Siang itu juga kami berkemas untuk turun. Target sebelum gelap bisa sampai bawah, tetapi ternyata gagal. Hujan datang melanda perjalanan kami. Sampai akhirnya kami tiba di basecamp jam sepuluh malam.

Begitulah perjuangan kami memeluk si Sumbing. Jadi, apakah kamu juga berani mendaki ke Sumbing? Kalau iya, sebelumnya jangan lupa berolahraga dulu ya! Matangkan persiapanmu. Dan jaga terus komunikasi antar anggota rombonganmu. Tidak ada yang kusesali mendaki Sumbing. Setiap perjalanan memiliki kisah dan kenangnya masing-masing. Kisah yang mencinpa rindu dan haru. Setiap kisah pun memiliki hikmah, sebagai pelajaran yang wajib untuk kita petik bersama-sama.

Tunggu cerita dan pengalamanku selanjutnya yaa!!!

Salam Literasi, Salam Lestari!

3 comments:

What is The Police Institution's Role, If Every Case Needs to go Viral First Before Take The Action?

Recently, many social media platforms posted criminal cases. Whether it is murder, sexual harassment, robbery, corruption, abuse of authorit...