Chapter 1
Rindu Yang Membelenggu
(Musim Dingin
Terakhirku)
Mengenang kisah itu, aku menjadi berniat
untuk mengabadikannya. Kukira, melalui lukisan adalah jawaban. Namun ternyata,
jari-jemariku tidak mampu menyelesaikannya. Hanya berupa ide karya tapi tak
bisa kurealisasikan. Hanya berupa coretan yang berantakan. Lalu dengan apa?
Supaya ingatanku yang lemah ini akan mampu untuk terus mengenang?
Aku mengeluh pada suatu senja yang
diiringi derasnya hujan disaat menyapa bumi. Keluhku dalam hati, seandainya
saja aku memiliki tingkat ingatan yang luar biasa. Sehingga aku tak perlu lagi
bingung harus bagaimana untuk terus mengingatnya. Sehingga malam datang
menjelang, lenguhan napasku tak lagi sanggup kutahan. Aku rindu. Sungguh membelenggu.
Hujan pun mereda, lalu, satu persatu
bintang bermunculan. Menawarkan segudang harapan dalam hangatnya kesunyian. Aku
melanjutkan malamku dengan kesendirian bersama sisa-sisa hujan yang hanya
meninggalkan kenang.
Sebuah lampu penerang jalan terpendar
oleh bias air hujan yang tertinggal. Plang penunjuk jalan yang terpampang di
tiang lampu itu silau tak terbaca. Hanya beberapa huruf yang jelas warnanya.
Dari kejauhan, aku memicingkan mata membacanya. Tapi tetap saja tidak jelas
kata apa yang tertulis di dalamnya. Hingga embusan angin mengalihkanku.
Ya! Aku bisa menulisnya. Menceritakan kisah-kisah
itu dalam rangkaian aksara yang mudah dan sederhana. Ketika rindu datang
menjeratku, setidaknya, aku bisa memeluknya. Dengan membacanya berulang-ulang
semau dan semampuku. Aku bisa membacanya sebosanku. Sampai kantuk membawaku
menuju lelap yang indah. Lelap yang dihiasi dengan kenangan itu. Kenangan penuh
rindu.