Chapter III
Bersemi Dalam Gugur
(Musim Gugur Tahun Pertama)
Tentang takdir, siapa yang tahu? Tentang
keajaiban siang nanti atau kejadian esok hari, siapa yang mengira? Karena
memang bukan kemampuan kita menebak-nebak hasil matematika Tuhan. Pun tentang
kau misalnya, siapa yang menyangka?
Pagi hari menjelang siang aku duduk di
taman, menikmati sepoi angin di musim gugur pertamaku di negeri ini. Sembari
menyapu halaman demi halaman buku referensi mata kuliahku yang cukup menjemukan
pikiran. Tiba-tiba dengan senyuman tanpa dosa kau duduk di sampingku. Lalu
menawari segelas kopi dan sebingkai percakapan yang hangat.
Sungguh, waktu itu aku sangat terkejut.
Ternyata memang benar pradugaku, malam di kafe lalu, kau tersenyum kepadaku.
Siang itu kau bercerita panjang lebar tentang duniamu. Katamu, musik adalah
hidup. Tapi sungguh aneh. Sepanjang pembicaraan kita, aku lupa menanyakan siapa
namamu. Kau juga sama, tidak bertanya siapa namaku, dari mana asalku, atau
belajar di kampus apa. Yang kuherankan, aku juga terlena mendengarmu bercerita.
Rasanya, hampir sama ketika mendengarmu bernyanyi lagu rindu seperti pada malam
itu. Menghipnostisku yang mendengarkanmu.
Lebih daripada suaramu, aku juga
menyukai senyuman kecil di bibirmu. Atau gelak tawamu yang ternyata
menggelegarkan suasana. Kupikir, kau juga cocok menjadi pemandu acara selain
menjadi penyanyi seperti itu. Karena setiap kau berkata, rasanya menggiringku
menuju duniamu. Menuju acara yang sedang kau pandu. Bahkan, mampu menghangatkan
keadaan yang mulai membeku. Lebih hangat daripada kopi yang kau tawarkan
padaku.
Hingga menuju sore hari, kau beranjak
dari dudukmu. Tanpa pamit, kau pergi sesukamu setelah –mungkin– lelah bercerita
dan tertawa. Setelah kopi dalam gelasmu habis di tegukan terakhir.
Dengan tingkah seperti itu, siapa yang
tidak terheran? Bahkan kelakuanmu cukup membuatku tercengang. Apakah kau memang
seseorang yang demikian? Datang dan pergi sesuka hati tanpa permisi? Tanpa
salam tanpa perkenalan, hanya meninggalkan cerita dan tawa dalam kenangan yang
teramat singkat.
Tapi apa kau tahu bagaimana reaksiku?
Bodoh! Sungguh bodoh! Aku tersenyum menyaksikan kehadiranmu yang konyol. Apakah
kau berpikir bahwa aku adalah seseorang yang suka didatangi lalu ditinggal
pergi dengan sesuka hati? Bisa jadi iya, dengan menganggap senyum dan tawaku
sebagai jawaban prasangka.
Ah, sungguh... kalau dipikir-pikir,
rasanya musim semi datang lebih awal menutupi musim gugur yang sendu ini.
Kehangatan yang penuh teka-teki.
No comments:
Post a Comment