Tuesday, March 10, 2020

Empat Irama

Chapter III

Bersemi Dalam Gugur
(Musim Gugur Tahun Pertama)

Tentang takdir, siapa yang tahu? Tentang keajaiban siang nanti atau kejadian esok hari, siapa yang mengira? Karena memang bukan kemampuan kita menebak-nebak hasil matematika Tuhan. Pun tentang kau misalnya, siapa yang menyangka?
Pagi hari menjelang siang aku duduk di taman, menikmati sepoi angin di musim gugur pertamaku di negeri ini. Sembari menyapu halaman demi halaman buku referensi mata kuliahku yang cukup menjemukan pikiran. Tiba-tiba dengan senyuman tanpa dosa kau duduk di sampingku. Lalu menawari segelas kopi dan sebingkai percakapan yang hangat.
Sungguh, waktu itu aku sangat terkejut. Ternyata memang benar pradugaku, malam di kafe lalu, kau tersenyum kepadaku. Siang itu kau bercerita panjang lebar tentang duniamu. Katamu, musik adalah hidup. Tapi sungguh aneh. Sepanjang pembicaraan kita, aku lupa menanyakan siapa namamu. Kau juga sama, tidak bertanya siapa namaku, dari mana asalku, atau belajar di kampus apa. Yang kuherankan, aku juga terlena mendengarmu bercerita. Rasanya, hampir sama ketika mendengarmu bernyanyi lagu rindu seperti pada malam itu. Menghipnostisku yang mendengarkanmu.
Lebih daripada suaramu, aku juga menyukai senyuman kecil di bibirmu. Atau gelak tawamu yang ternyata menggelegarkan suasana. Kupikir, kau juga cocok menjadi pemandu acara selain menjadi penyanyi seperti itu. Karena setiap kau berkata, rasanya menggiringku menuju duniamu. Menuju acara yang sedang kau pandu. Bahkan, mampu menghangatkan keadaan yang mulai membeku. Lebih hangat daripada kopi yang kau tawarkan padaku.
Hingga menuju sore hari, kau beranjak dari dudukmu. Tanpa pamit, kau pergi sesukamu setelah –mungkin– lelah bercerita dan tertawa. Setelah kopi dalam gelasmu habis di tegukan terakhir.
Dengan tingkah seperti itu, siapa yang tidak terheran? Bahkan kelakuanmu cukup membuatku tercengang. Apakah kau memang seseorang yang demikian? Datang dan pergi sesuka hati tanpa permisi? Tanpa salam tanpa perkenalan, hanya meninggalkan cerita dan tawa dalam kenangan yang teramat singkat.
Tapi apa kau tahu bagaimana reaksiku? Bodoh! Sungguh bodoh! Aku tersenyum menyaksikan kehadiranmu yang konyol. Apakah kau berpikir bahwa aku adalah seseorang yang suka didatangi lalu ditinggal pergi dengan sesuka hati? Bisa jadi iya, dengan menganggap senyum dan tawaku sebagai jawaban prasangka.
Ah, sungguh... kalau dipikir-pikir, rasanya musim semi datang lebih awal menutupi musim gugur yang sendu ini. Kehangatan yang penuh teka-teki.

No comments:

Post a Comment

What is The Police Institution's Role, If Every Case Needs to go Viral First Before Take The Action?

Recently, many social media platforms posted criminal cases. Whether it is murder, sexual harassment, robbery, corruption, abuse of authorit...