Monday, January 14, 2019

Review Film: Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta

Sudah nonton film sejarah Raja Mataram yang ke tiga? Kalau belum, simak tulisan berikut ini!


Hayo, siapa di antara teman-teman yang mengidolakan Mas Hanung Bramantyo? Ye sekarang aku juga samaan dengan kalian, nih. Film Sultan Agung besutan beliau ini telah membuatku jatuh cinta dengan sutradara kelahiran Yogyakarta. 

Di Review Film kali ini, aku mau bahas tentang film yang berbau kolosal berlatar sejarah kerajaan Mataram. Jujur, aku baru tahu minggu-minggu ini, padahal film Sultan Agung sudah tayang Agustus 2018 lalu. Hahaha aku memang payah! Film sebagus ini kulewatin begitu saja? Hehehe ya maaf, yang selalu kupantau, selama ini hanya Garin Nugroho. Tapi untunglah, Tuhan dengan seribu keadilannya menginginkan cintaku dibagi kepada dua sutradara ini. Hilih, kamu gombal banget, Ay!

Kenapa aku mau bahas film ini? karena selain bagus dari sisi materi, isi, dan teknisnya, kalian tahu sendiri bukan, kalau aku ini millenials yang jiwanya terperangkap di era kolosal, zaman sejarah. Hahaha iya, aku suka sekali sama hiburan audio visual, baik film, sinetron, drama, teater, sandiwara radio atau apapun bentuknya, asal yang berbau kolosal dan sejarah. Yang berbau-bau olah kanuragan alias silat. Jadi, khusus di film ini, aku sangat subjektif wkwkwk. Ya sudah, yuk langsung bahas bersama! :)

A. SINOPSIS

Raden Mas Rangsang dan Lembayung muda

Jadi, diceritakan di sini, Raden Mas Jolang (Raja ke dua Mataram Islam) yang bergelar Panembahan Hanyokrowati mewariskan tahtanya kepada Raden Mas Rangsang yang diwasiatkan secara pribadi dengan Ki Juru Mertani (sesepuh dan pendiri Mataram). Yang menjadi permasalahan adalah, Raden Mas Rangsang bukanlah seorang Putra Mahkota. Dia hanya seorang Pangeran dari seorang selir (Dyah Banowati). Di Mana Sinuwun Hanyokrowati sebelumnya pernah berjanji kepada Ratu Permaisuri Tulung Ayu, jika kelak ia melahirkan seorang putra, tahta Mataram akan jatuh ke Pangeran Martapura. Namun sayang, setelah sekian lama akhirnya memiliki seorang putra, Putra Mahkota mereka tidak terlahir dengan fisik dan mental yang sempurna. 

Raden Mas Rangsang memang sudah dipersiapkan oleh Sinuwun Hanyokrowati untuk meneruskan tahtanya memimpin Mataram, maka dari itu, sejak usia sepuluh tahun, ia dititipkan ke Padepokan Jejeran –masih berada di bawah kekuasaan Mataram– bersama putra angkat Tumenggung Notoprojo (Panji Kelono). Hingga memasuki usia remaja, Raden Mas Rangsang jatuh cinta kepada putri Lurah Sudar (Lembayung) yang juga seorang santri di Padepokan Jejeran. Beruntung, cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Namun bermula dari kisah cinta seorang Kesatria dan rakyat biasa inilah, masalah mulai mengguncang keduanya. Dimulai dari mangkatnya Panembahan Hanyokrowati, yang ternyata kematiannya didalangi oleh Ratu Tulung Ayu yang tidak terima tahta anaknya diserahkan kepada Raden Mas Rangsang.

Mau tidak mau, karena wahyu keprabon yang harus tetap berjalan, serta karena titah atau pesan Kanjeng Sunan Kalijaga, akhirnya Raden Mas Rangsang bersedia meneruskan perjuangan ramandanya. Jadilah ia diangkat menjadi Raja Mataram yang ke tiga, didampingi oleh putri Adipati Batang yang menjadi garwo pati alias permaisuri.

Di situlah antara tahta yang ia terima, perjuangan, dan cintanya Raden Mas Rangsang kepada Lembayung dipertaruhkan. Tetapi cintanya kepada Lembayung tidaklah buta. Cintanya kepada negara lebih besar dari segalanya. Ia harus meneruskan perjuangan Patih Gajah Mada memersatukan nusantara, melawan dan mengusir Belanda yang menjajah negerinya. 

Hingga sampai waktu, di mana ia telah kehabisan pasukan, kalah berperang dan merasa banyak yang mengkhianatinya. Lalu, dengan nasehat ibundanya serta karena desakan serta peringatan Lembayung yang turut berperang melawan Belanda, akhirnya ia menarik mundur pasukan. Ia lebih memilih berjuang melalui cara yang lain, yaitu mengajarkan para anak cucu dengan mencintai budaya dan negeri. Karena sebaik-baiknya jihad adalah bangsa yang memiliki harga diri.

Sultan Agung menghidupkan kembali Padepokan Jejeran

Di akhir, Lembayung tersenyum lega setelah mengetahui Sinuwunnya lebih memilih cara berperang dengan cara lain yang tanpa harus banjir darah seperti sebelumnya.

B. SETTING

Baik setting tempat, setting waktu, dan setting suasana patut di acungi jempol. Studio alam yang di gunakan benar-benar hampir mirip di era masa mataram. Mulai dari suasana atau latar pedesaan dan Padepokan Jejeran, setting tempat keraton Kota Gede maupun keraton Karta yang dibuat sangat mirip dengan Keroton Jogja yang sebenarnya. Lalu dipenampilan. Dari bentuk pakaian, cara berpakaian, cara berbicara, dan unggah-ungguh lakunya rakyat yang menyembah raja, dan lain-lain masih banyak lagi. 

Suasananya sangat elegan menggambarkan betapa kakunya bab kekeratonan. Di dukung efek lighting yang sangat mempengaruhi suasana, menambah dramatisasi cerita. Di pengaturan latar film inilah aku sangat terpesona. Beribu-ribu film kolosal yang sudah pernah kutonton, Sultan Agung yang menduduki peringkat pertama.

C. ADEGAN

Bayu Ario sebagai Sultan Agung

Dari adegan percakapan biasa, antara Mas Rangsang dengan Lembayung, atau Mas Rangsang dengan Panji Kelono muda. Lalu adegan laga yang tidak dibuat-buat. Maksudnya terlihat real seperti nyata adanya yang tidak disuguhi embel-embel suara dar-dor mengeluarkan tenaga dalam seperti film kolosal yang sudah-sudah. Jadi tidak terlihat dan terkesan lebay. 

Kehadiran figuran dan pemeran pelengkap yang sangat penting. Jadi cerita selama dua setengah jam tidak hanya didominasi pemeran utama. Di sini hebatnya Hanung Bramantyo yang tidak melupakan betapa pentingnya tokoh pembantu dan tokoh figuran.

Selain itu, adegan di mana sedang berperang benar-benar terlihat seperti nyata. Dari dada yang tertembus peluru. Adegan bacok-membacok. Panah yang lepas dari busurnya. Luka-luka dan darah bekas sabetan golok, dan lain-lain.  semua sempurna di sini. Ketika melihat agedan ini, aku exited banget. Ini Mas Hanung bagaimana mendesain semua ini? Make Up artisnya yang luar biasa sehingga luka yang tercipta seakan-akan luka sungguhan. Pokonya aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi tentang film ini. bagiku, kata bagus saja belum cukup untuk mewakili film ini. terus pakai kata apa dong, Ay? 

D  PEMERAN/CAST

Sultan Agung/Raden Mas Rangsang dan Lembayung dewasa

Tapi, walau bagaimanapun, semua aspek sudah sangat bagus. Kemiripan Lembayung muda (Putri Marino) dengan Lembayung deawasa (Adinia Wirasti), kemiripan Raden Mas Rangsang muda (Martin Olio) dengan Raden Mas Rangsang dewasa atau Sultan Agung (Bayu Ario) pemeran Panji Kelono muda dan dewasa. Dan tokoh-tokoh Belanda yang diperankan langsung oleh bangsanya. Semua cast sangat bagus dan mendukung sebagai karakter masing-masing. 

Panji Kelono, Lembayung dan Singoranu (patih) dewasa


E. KEKURANGAN

Namun meski sebegitunya aku mengagumi satu karya ini, tetap saja ada beberapa celah kalau mau melihat dengan lebih jeli. Bukan untuk menjelek-jelekkan, tetapi sebagai kritik saran untuk karya yang sebagus ini agar leih bagus lagi. Cukup disayangkan, ada beberapa scene yang feelnya kurang bisa disentuh, contohnya:

1. Di awal, dalam scene ketika Mas Rangsang di suruh menyebutkan enam anggota kelompok manusia yang masih berhubungan dengan ajaran Kanjeng Sunan Kalijaga, digambarkan bahwa Mas Rangsang mengerti tentang kaum “Meleca”. Tetapi di scene lain, di mana ketika Mas Rangsang sedang ngendikan dengan Ki Jejer karena dilema tentang wahyu keprabon yang dijatuhkan kepada dirinya, Raden Mas Rangsang malah bertanya, “bangsa apa itu, Ki?” ketika Ki Jejer menyebutkan Meleca. 

Keterangan dari kekurangan nomor 1

2. Posisi Ratu Batang sebagai Garwo Patinya Susuhunan Agung sangat tidak terlihat posisinya. Malah keberadaannya jauh lebih kalah dibanding Lembayung, selain hanya intip mengintip pasewakan.
3. Kekurang jelasan Notoprojo, antara bersifat penghianat atau setia kepada rajanya. Bahkan saya perlu dua kali menonton flm ini untuk mengetahui sifatnya Notoprojo serta Panji Kelono yang sebenarnya.
4. Pemeran Raden Mas Rangsang kecil yang wajahnya sangat sangat sangat tidak memiliki kemiripan sama sekali. 

Keterangan kekurangan nomor 4

5. Garpu yang digunakan Dyah Banowati menyuapi Raden Mas Rangsang terlihat seperti garpu biasa. Padahal di zaman kerajaan semuanya terbuat dari emas. Kurang elit.
6. Adegan perang di Benteng VOC di Jayakarta, seolah-olah, pintu gerbang tidak seperti dibobol, tetapi seperti dibukakan oleh penjaga gerbang bentengnya. 

Keterangan kekurangan nomor 6


Jadi... jadi aku bingung sendiri harus memuji dengan kalimat apalagi tentang film ini. buat Mas Hanung Bramantyo, seluruh kru Dapur Film, Studio Alam Gamplong, dan seluruh awak film Sultan Agung, terimakasih sudah menghasilkan karya seindah ini, walaupun aku telat dan tidak nonton langsung di bioskop (hanya nonton di iflix doang huhu sedih dan menyesal), semoga suatu saat kalian mau memfilmkan novel kolosalku juga, ya wkwk.

Pokoknya, teman-teman yang belum nonton Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta, kalian bisa nonton di Iflix. Jangan sampai kelewatan film yang sebagus ini.

Jangan lupa mampir ke channel YouTube aku, ya...

Find me on account:
Instagram: @ayunda_een
Twitter: @ayunda_een
Wattpad: @ayunda_een

2 comments:

What is The Police Institution's Role, If Every Case Needs to go Viral First Before Take The Action?

Recently, many social media platforms posted criminal cases. Whether it is murder, sexual harassment, robbery, corruption, abuse of authorit...