Sunday, December 29, 2019

EMPAT IRAMA


Chapter 1

 
Rindu Yang Membelenggu
(Musim Dingin Terakhirku)

Mengenang kisah itu, aku menjadi berniat untuk mengabadikannya. Kukira, melalui lukisan adalah jawaban. Namun ternyata, jari-jemariku tidak mampu menyelesaikannya. Hanya berupa ide karya tapi tak bisa kurealisasikan. Hanya berupa coretan yang berantakan. Lalu dengan apa? Supaya ingatanku yang lemah ini akan mampu untuk terus mengenang?
Aku mengeluh pada suatu senja yang diiringi derasnya hujan disaat menyapa bumi. Keluhku dalam hati, seandainya saja aku memiliki tingkat ingatan yang luar biasa. Sehingga aku tak perlu lagi bingung harus bagaimana untuk terus mengingatnya. Sehingga malam datang menjelang, lenguhan napasku tak lagi sanggup kutahan. Aku rindu. Sungguh membelenggu.
Hujan pun mereda, lalu, satu persatu bintang bermunculan. Menawarkan segudang harapan dalam hangatnya kesunyian. Aku melanjutkan malamku dengan kesendirian bersama sisa-sisa hujan yang hanya meninggalkan kenang.
Sebuah lampu penerang jalan terpendar oleh bias air hujan yang tertinggal. Plang penunjuk jalan yang terpampang di tiang lampu itu silau tak terbaca. Hanya beberapa huruf yang jelas warnanya. Dari kejauhan, aku memicingkan mata membacanya. Tapi tetap saja tidak jelas kata apa yang tertulis di dalamnya. Hingga embusan angin mengalihkanku.
Ya! Aku bisa menulisnya. Menceritakan kisah-kisah itu dalam rangkaian aksara yang mudah dan sederhana. Ketika rindu datang menjeratku, setidaknya, aku bisa memeluknya. Dengan membacanya berulang-ulang semau dan semampuku. Aku bisa membacanya sebosanku. Sampai kantuk membawaku menuju lelap yang indah. Lelap yang dihiasi dengan kenangan itu. Kenangan penuh rindu.

Wednesday, May 01, 2019

Trip Travellingku: Kuliah Hukum Lapangan Fakultas Hukum Universitas Janabadra 2019


Hello Jakartaaa!!!


Fakultas Hukum Universitas Janabadra

Long time no see yaa..., and now, I comeback with my short story. Hope, you'll love this.

April telah berlalu tanpa temu juga tanpa kata. Ah, sungguh rindu sekali kepadamu, wahai pembaca setia tulisanku. Tidak terasa, Mei datang begitu saja dengan kecepatan yang luar biasa. Lalu, bagaimana kabar kalian? Baik-baik saja, bukan? Alhamdulillah, progres pemulihan kakiku semakin baik -berkat doa kalian juga, temanteman! Terimakasih yaa :)

Sebulan berlalu tanpa hadir membawa cerita di platform tercinta kita, bukan berarti aku malas menulis ya, tapi sungguh, bulan lalu tengah sibuk-sibuknya dalam masa perkuliahan. Yah, selain aku mulai aktif kembali di beberapa organisasi kesayanganku, tempo hari juga baru selesai melaksanakan "tugas negara" sebagai mahasiwa Fakultas Hukum. Yap, apalagi kalau bukan Kuliah Hukum Lapangan yang ditunggu-tunggu oleh mahasiswa Ilmu Hukum semester empat! 2 SKS yang serasa liburan terselubung. Hahahaha ampun Bapak/Ibu dosenku, tapi beginilah nyata keadaannya yang terjadi di antara kami, para mahasiswa tercinta kalian ini.

Oke, aku mulai saja ya dari awal perjalanan kami. Minggu, 21 April 2019 tepat pukul satu siang semua mahasiswa semester empat sudah berkumpul di parkiran Fakultas Hukum. Satu angkatanku ada empat kelas, jadi pembagian bus juga sesuai kelas masing-masing. Tiga bus pertama semua anggota suda lengkap, tinggal bus keempat nih yang belum lengkap formasinya. Karena apa, teman-teman? Karena hobiku yang sudah mengakar dari kecil tidak bisa kuhilangkan -terlambat!!! Hahahaha jadilah aku jam satu tet baru pesan makan di warung sebelah rumah. setelah selesai makan baru dengan santainya jalan ke kampus tanpa rasa bersalah apalagi merasa berdosa. Hahahaha ampuni aku, kawan-kawanku, telah menghambat jadwal perjalanan kita! Eh, tapi aku tidak terlalu parah kok. Setengah dua sudah sampai kampus. Ada lagi yang lebih parah dari aku, namanya Mbak Cantika. Hahahaha dia jam dua baru sampai Te Ka Pe! Kesal tidak, tuh? Aku sih santai aja hehehehe...

This is my great Team!!! Yeah, I am girl only one!

Dua biyang kerok. Me and Mbak Cantika!

Long short story, karena dari Yogyakarta, awal perjalanan kami lewat jalur selatan a.k.a Jalan Deandles. Tetapi, karena beberapa hal sehingga mengakibatkan wasted time, akhirnya setelah para dosen pembimbing kami dan pihak bus berdiskusi panjang lebar, kita beralih haluan menuju utara. Menerobos gelapnya Daerah Tegal, menembus gelapnya malam demi jalur Pantura (Pantai Utara) yang lebih nyaman.

Dengan keadaan yang sedikit kesal dan dongkol, kami harus rela dan tetap tabah serta meneguhkan hati untuk rela tidur di dalam hotel bandung alias "ban gelundung". Hahaha rasakan tuh, kaki tidak bisa selonjoran, punggung rasanya seperti dilipat-lipat. Ah, tapi tetap tidak apa-apa kok. Demi nilai dan pengalaman esoknya..., dalam hati mah, demi liburan juga huhu.

Karena sepanjang Tol Cikampek macet berjam-jam, target sampai di Hotel Amaris (Mangga Dua Square) menjadi mundur. Yang dijadwal seharusnya sampai pada pukul tujuh pagi, kami baru sampai pukul setengah sepuluh. Itu pun baru bus empat yang sampai pertama kalinya. Hahaha driver terkece memang!

Karena gontok-gontokan waktu agar tetap bisa sesuai schedule, kami sebagai rombongan pertama yang tiba di hotel, hanya diberi waktu satu jam untuk bersiap diri bergegas menuju gedung Mahkamah Konstitusi. Tidak salah, Pak?!!! Satu jam untuk sarapan, mandi, buang air besar, buang air kecil, make up, match-matching baju, nyemir sepatu, nyemir rambut, ngecat tembok kamar, benerin genteng bocor, dan lain-lain masih banyak lagi. Tetapi, dengan kekuatan bulan, akan menghukummu! Loh, malah jadi sailor moon. Bukan itu, bukan. Dengan segenap kecepatan dan kelincahan dari "the power of kepepet time" waktu satu jam pun berjalan sesuai dengan planning para panitia.

Kurang lebih jam sebelas pagi menjelang siang yang sungguh sangat terik, -hingga kulitku yang hitam ini semakin berkilauan hitamnya- kami sampai di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Selatan. Hahaha jangan ketawa ya, tempat tujuannya di Jakarta Selatan kok hotelnya di Jakarta Utara. Kami tidak tahu apa-apa, tanyakan saja pada debu Kota Jakarta!

 
Mahkamah Konstitusi




Lobi Mahkamah Konstitusi

Sekitar dua jam, kepuasan kami bermain di gedung pemerintahan yang belum sampai klimaks harus terpentok batasan waktu. Yah, kurang lebih jam satu siang, kami diharuskan naik bus yang sesak itu kembali. Wellheeiy, dan makan siang kita di dalam bus. Nice! Benar-benar menghemat waktu. tidak lama, karena memang tidak terlalu jauh, kami tiba di gedung Komisi Yudisial atau lebih sering disebut dengan KY.

Karena badan yang sudah teramat lelah dan wajah yang tak lagi terbentuk. Make up luntur, wajah kusam, kulit terpapar sinar matahari, sungguh Ibukota panasnya luar binasa. Membuatku yang biasanya penuh ekspresi dan eksplorasi, menjadi enggan melakukan apa-apa. Bahkan termasuk mengambil gambar diri semata. Kurasa, tidak hanya aku, tetapi beberapa teman-temanku juga begitu.
Jadi, di KY, aku tidak mengambil gambar satupun dan apapun sampai acara di KY selesai sekitar pukul lima sore.

Sepulang dari trip yang seru-seru menggemaskan itu, aku -dan mungkin beberapa kawan juga sama-, langsung "kelekaran" di kamar hotel.  

Kira-kira pukul tujuh malam, aku bangun dari mimpi singkatku di waktu yang cukup sumerup. Senja di tengah kota kulewati begitu saja. Tapi tidak apa-apa, aku tetap bahagia dong pun! Bangun tidur, langsung makan dan bergegas mandi. On the way dandan yang cantik, sambil menunggu jemputan partnerku yang pernah mendaki bersamaku di Gunung Sumbing (Baca: Trip Travelingku : Gunung Sumbing dan Kenangan Rindu) juga partnerku berwisata ke Candi Prambanan (Baca: Trip Travelingku : Prambanan Ceria)

Oke, sesuai rencana tentang liburan terselubung, jam delapan kurang, parterku (Diki) sudah menunggu di lobi hotel. Aku dengan segenap hati sudah siap berkeliling kota metropolitan ini. Hellooo Jakartaaa!!!

First place yang disinggahi adalah Lapangan Banteng. Niatan pengen lihat air mancur yang bergoyang, eh karena hari kerja sepi pengunjung, jadi air mancurnya tidak dinyalakan. Sedih deh huhu.... Di Lapangan Banteng kita ketemuan sama Reza dan Elsa. Sepasang Pendaki yang kukenal karena Gunung Merbabu. Eaaaa ketemuan deh kami di sini.

Lapangan Banteng yang sepi sesepi hatiku saat ini

Diki and me

Elsa and me

Lanjut, aku diajak ke ikon Jakarta, apalagi jika bukan Monas! Menara Monumen Nasional yang menjadi ikon negara. Tapi berhubung malam, sudah lewat jadi dari jam berkunjung, jadi cuma bisa foto dari luar pagar aja. Lagi-lagi begini.






Ke Monas cuma numpang lewat foto saja. Setelah itu rencana mau hunting foto ke Fatahillah. Tetapi kembali lagi kosong! Iya..., masa baru sampai sana, baru minum es degan sepulu ribuan, baru ngeluarin kamera, sirine di Kota Tua udah bunyi kencang banget. Sirine tanda waktu habis jam berkunjung. Sampai-sampai tetap maksa buat ngambil foto, kami diusir sama petugasnya. Pun fotonya terburu-buru, jadi hasilnya naudzubillah... sad :(

Aku dengan hati gegap gempita dengan Fatahillah yang gelap gulita

Yasudah, sudah pertanda memang aku tidak boleh eksplor banyak-banyak soal kota metropolis ini. Akhirnya malam pertamaku dengan Ibukota harus berakhir dengan nongkrong cantik di kedai kopi. Setelah sampai sana, Diki memanggil Mas Didi dan Angga. Jadilah lengkap formasi kami ini.

Angga - Me - Elsa - Reza - Diki - Didi

Ketika kembali bertemu dengan pacar sehariku di Sumbing

Then, on the next day..., hari kedua sesuai itinerary kami diwajibkan bangun pagi, meskipun sebelumnya aku baru tidur 2 jam. iya, jam 3 malam baru balik dan jam 5 sudah harus bangun. Sesuai jadwal, kami sarapan pukul 7 pagi, jam 8 langsung on the way menuju Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi atau lebih sering disebut KPK. Di sini biasa aja, cuma workshop semacam seminar gitu. dan maaf malah kebanyakan kami ngantuk dan tertidur. Tapi tetap paham dong sama materinya. Lha wong kami ini minta soft file-nya juga hahaha....
Gedung KPK
Sekitar pukul satu siang workshop selesai, tanpa alasan ini itu, kami langsung makan siang dari catering yang sudah dibagikan sebelum kembali ke bus. Tetep dong, makan siangnya dalem bus. Biar apa? biar nggak wasting time katanya. Itu sih antara wasting time sama nggak keburu waktu beda tipis-tipis. Well, okay no problem, tetap kami lanjut!

Tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu beberapa menit, kami sudah sampai di gedung PPATK (Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan. Langsung deh tuh, sampai sana kami disuruh apel. Diberi tahu SOP nya seperti apa, karena memang di sini peraturannya ketat banget. Bisa-bisa, almamater kami kena blacklist kalau salah satu atau dua dari kami ketahuan melanggar SOP yang sudah diterapkan. Jadi, kami tidak boleh membawa ponsel, kamera digital atau elektronik apapun ketika memasuki Gedung, kecuali sepotong kertas atau notebook buat catatan seminar nanti. Haduh ribet sekali memang, tapi mau bagaimana lagi, peraturan tetap peraturan. Meskipun kami banyak mengeluh, tapi tetap enjoy dong yaaay!!!


Gedung PPATK
Waktu menunjukkan pukul lima sore. Tidak ada hal apapun yang kutangkap selama seminar. Cause because, i'm tired so much and I slept on there. Hahaha maafkan daku. Selepas dari PPATK, kami langsung menuju NET Mediatama, buat nonton acara Talk Show. Tapi aku dong, bebas lepas tanpa beban, bukannya ikut rombonga, , tapi melipir sama temen dari Binus (Bina Nuswastara) nongkrong di Mall sesukanya sampai jam 9 malam baru balik. Dan ketika sampai di Net, pas banget busnya sudah siap langsung otewe pulang. Ngengg ngengg ngengggg... Jogja, kami kembali!!!

Oke, sekian sudah cerita trip menjengkelkan ini ya..., seru seru lucu. Seneng bisa sekalian ketemu teman lama.

Salam Literasi, Salam Prestasi!
Follow me on account:
Instagram : @ayunda_een
Twitter : @ayunda_een
Watpadd : @ayunda_een
Youtube : Ayunda Nurudin

Tuesday, March 19, 2019

Trip Travelingku : Prambanan Ceria

Wisata Budaya? Yuk, dolan ke Candi Prambanan bersama!

Ciee fotonya sendirian terus, jomlo yaa?

Halo, teman-teman... ternyata cukup lama ya, Ayunda tidak posting tentang sesuatu, kira-kira sudah lebih dari satu bulan vakum. Hehehe mohon dimaklumi yak, karena terkendala kesehatan yang mendesak, dan juga beberapa kegiatan perkuliahan yang cukup lumayan padat. Eee tapi, itu semua alasan ajasih, aslinya memang sedang malas saja. Eaaa....

Oke, di tulisan kali ini, Ayunda mau bahas  tentang perjalanan atau trip pertamaku setelah kecelakaan yang mengharuskanku untuk istirahat total. Ke mana kali ini? Yuhuuu benar sekali. Trip pendek ke Candi Prambanan yang menawan. Nah, kali ini Ayunda berwisata budaya sama kawan-kawan Jakarta. siapa mereka? mereka adalah..., Bang Diki, Teteh Ranti dan juga suaminya Aa' Budi. 


Ayunda - Bang Diki - Aa' Budi- Teteh Ranti

Ya, jadi seperti itu, teman-teman, Ayunda masih pakai kruk (alat bantu jalan) waktu ke Prambanan. Iya iya, itu jalan-jalan pertamaku setelah aku kecelakaan lalu. Iya iya, itu jalan-jalan pertamaku di tahun 2019 ini. Ya Allah, sedih banget yak. :(

Jadi, teman-teman, waktu itu kami datang ke Prambanan hari Sabtu. Ketiga kawan baikku ini mendarat dengan selamat di Stasiun Lempuyangan mundur jadi jadwal perkeretaan, Yang seharusnya sampai pada pukul 07.15 WIB jadi mundur pada pukul 08.30 WIB. Oke, jadi mundurlah pula planning perjalanan kami. Padahal nih ya, Ayunda sudah menunggu di Stasiun Lempuyangan dari jam enam pagi. Gara-gara Bang Diki udah neleponin terus supaya otewe jemput. Yasudah deh, akhirnya lumutan berjam-jam menunggu di sana. padahal jalan agak repot harus pakai kruk segala. Tapi, gapapa demi mereka. :)

Setelah mereka tiba di Lempuyangan, kami akhirnya memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu. Tidak jauh-jauh, kami hanya mengisi perut di warung sekitar stasiun. Karena mereka wisatawan dari luar Yogya alias dari Jakarta, kusaraninlah mereka makan Gudeg. E,eeh ternyata lidah mereka tidak cocok sama sekali dengan citra rasa gudeg yang manisnya semanis aku ini. 

Skip, setelah sarapan, kita meluncur menuju hostel yang udah jauh-jauh hari kami booking. Kita menaruh barang, kemudian mandi dan siap-siap lalu berangkat cus ke lokasi yang akan kita tuju. Dan akhirnya kedatangan kami ke Candi Hindu ini terlalu larut untuk pagi yang mulai menyurut. Maksudnya paanaaassss sekaaaaliiiiii. Hahaha, sampai-sampai Teh Ranti sama Aa' Budi nyewa payung karena tidak kuat sama suhu udara siang itu. Kalau Ayunda dan Bang Diki sih anti takut item club-club wkwkwk

Prambanan di siang yang menyengat
Karena keadaan kondisi fisik Ayunda yang tidak terlalu memungkinkan, Ayunda hanya menunggu di taman depan candi. Duduk-duduk menggalau seorang diri tanpa teman tanpa kawan. Karena Teh Ranti, A' Budi dan Bang Diki kupaksa ninggalin aku sendiri. Karena ya tetap tidak mau dong, rencana liburan mereka jadi tidak asik karena batas kemampuanku. Jadilah kumenunggunya kira-kira dari dzuhur sampai jam setengah tiga sore. Setelah mereka bertiga puas jalan-jalan dan mengitari Seribu Candi tersebut, membaca relief-relief pada dinding candi, atau mungkin lagi menggoda patung Roro Jonggrang yang aslinya tetap lebih manis Ayunda, mereka akhirnya kembali menyampari tempat kita berpisah sebelumnya. Lalu kami berempat pulang lewat jalur utara.

Jadi... nih ya.... Ayunda kaki masih sakit, jalan masih pakai kruk, tapi berhasil muterin Prambanan jalan kaki. Waaah sumpah, hebat kan!!! Yaudahlah, bilang aja iyaa Ayunda hebat!!! kasih aplaus dulu yaa, jangan lupa!

Tapi ya tetap sih, capek :( akhirnya, kami memutuskan membeli minuman yang di jual pedagang asongan. Sumpah, harganya bikin keselek yang minum. Kami beli 4 botol minuman bulir jeruk aja 50 rebu. Kan, bikin kantong kembang kempis tau. Yap, sambil menikmati minum, kami duduk santai sejenak di area bebatuan yang lokasinya sebenarnya asik buat foto-foto. Cukup fotojeniklah kalau menurut pandangan mata minusku ini. wkwkwwk


Sore semakin cepat datang, dan mendung semangat untuk menggiring hujan. Dan... taraaaa hujan-hujanlah kita disisa-sisa lelah yang bercampur bahagia. Hilih, apasih kamutuw Ayunda! Iya, karena siang tadi melewatkan makan, jadilah makan siang dan makan sore kami rangkap jadi satu. Setelah dingin hujan-hujanan, memang paling enak makan yang berkuah-kuah. Apalagi selain soto atau bakso? Hujan-hujan, dingin-dingin, menikmati makanan yang hangat dan pedas memang paling mantap!

Prambanan sebelum hujan
Akhir kata, cukup sampai di sini cerita perjalanan kami. Karena minggu pagi esok harinya kami harus melanjutkan perjalanan ke Merapi Park. Jadi, mulai dari sekarang kami harus menghemat tenaga. Eh ya begitu sih, jadinya Ayunda tetap tidak bisa ikut karena sudah kecapaian keliling Prambanan. Jadi, selamat liburan yaa buat Bang Diki, Teh Ranti dan Aa' Budi. Lanjutkan liburanmu.... dududu Ayunda tunggu ceritamu di Jogjaku. :)))

Jogja siapa? Jogja Ayunda dong ehehee...

Tetap jaga kesehatan dan safety ya. Keep go on to the next trip!

Salam Literasi, Salam Prestasi!


Follow me on account:
Instagram : @ayunda_een
Twitter : @ayunda_een
Watpadd : @ayunda_een
Youtube : Ayunda Nurudin



Monday, January 14, 2019

Review Film: Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta

Sudah nonton film sejarah Raja Mataram yang ke tiga? Kalau belum, simak tulisan berikut ini!


Hayo, siapa di antara teman-teman yang mengidolakan Mas Hanung Bramantyo? Ye sekarang aku juga samaan dengan kalian, nih. Film Sultan Agung besutan beliau ini telah membuatku jatuh cinta dengan sutradara kelahiran Yogyakarta. 

Di Review Film kali ini, aku mau bahas tentang film yang berbau kolosal berlatar sejarah kerajaan Mataram. Jujur, aku baru tahu minggu-minggu ini, padahal film Sultan Agung sudah tayang Agustus 2018 lalu. Hahaha aku memang payah! Film sebagus ini kulewatin begitu saja? Hehehe ya maaf, yang selalu kupantau, selama ini hanya Garin Nugroho. Tapi untunglah, Tuhan dengan seribu keadilannya menginginkan cintaku dibagi kepada dua sutradara ini. Hilih, kamu gombal banget, Ay!

Kenapa aku mau bahas film ini? karena selain bagus dari sisi materi, isi, dan teknisnya, kalian tahu sendiri bukan, kalau aku ini millenials yang jiwanya terperangkap di era kolosal, zaman sejarah. Hahaha iya, aku suka sekali sama hiburan audio visual, baik film, sinetron, drama, teater, sandiwara radio atau apapun bentuknya, asal yang berbau kolosal dan sejarah. Yang berbau-bau olah kanuragan alias silat. Jadi, khusus di film ini, aku sangat subjektif wkwkwk. Ya sudah, yuk langsung bahas bersama! :)

A. SINOPSIS

Raden Mas Rangsang dan Lembayung muda

Jadi, diceritakan di sini, Raden Mas Jolang (Raja ke dua Mataram Islam) yang bergelar Panembahan Hanyokrowati mewariskan tahtanya kepada Raden Mas Rangsang yang diwasiatkan secara pribadi dengan Ki Juru Mertani (sesepuh dan pendiri Mataram). Yang menjadi permasalahan adalah, Raden Mas Rangsang bukanlah seorang Putra Mahkota. Dia hanya seorang Pangeran dari seorang selir (Dyah Banowati). Di Mana Sinuwun Hanyokrowati sebelumnya pernah berjanji kepada Ratu Permaisuri Tulung Ayu, jika kelak ia melahirkan seorang putra, tahta Mataram akan jatuh ke Pangeran Martapura. Namun sayang, setelah sekian lama akhirnya memiliki seorang putra, Putra Mahkota mereka tidak terlahir dengan fisik dan mental yang sempurna. 

Raden Mas Rangsang memang sudah dipersiapkan oleh Sinuwun Hanyokrowati untuk meneruskan tahtanya memimpin Mataram, maka dari itu, sejak usia sepuluh tahun, ia dititipkan ke Padepokan Jejeran –masih berada di bawah kekuasaan Mataram– bersama putra angkat Tumenggung Notoprojo (Panji Kelono). Hingga memasuki usia remaja, Raden Mas Rangsang jatuh cinta kepada putri Lurah Sudar (Lembayung) yang juga seorang santri di Padepokan Jejeran. Beruntung, cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Namun bermula dari kisah cinta seorang Kesatria dan rakyat biasa inilah, masalah mulai mengguncang keduanya. Dimulai dari mangkatnya Panembahan Hanyokrowati, yang ternyata kematiannya didalangi oleh Ratu Tulung Ayu yang tidak terima tahta anaknya diserahkan kepada Raden Mas Rangsang.

Mau tidak mau, karena wahyu keprabon yang harus tetap berjalan, serta karena titah atau pesan Kanjeng Sunan Kalijaga, akhirnya Raden Mas Rangsang bersedia meneruskan perjuangan ramandanya. Jadilah ia diangkat menjadi Raja Mataram yang ke tiga, didampingi oleh putri Adipati Batang yang menjadi garwo pati alias permaisuri.

Di situlah antara tahta yang ia terima, perjuangan, dan cintanya Raden Mas Rangsang kepada Lembayung dipertaruhkan. Tetapi cintanya kepada Lembayung tidaklah buta. Cintanya kepada negara lebih besar dari segalanya. Ia harus meneruskan perjuangan Patih Gajah Mada memersatukan nusantara, melawan dan mengusir Belanda yang menjajah negerinya. 

Hingga sampai waktu, di mana ia telah kehabisan pasukan, kalah berperang dan merasa banyak yang mengkhianatinya. Lalu, dengan nasehat ibundanya serta karena desakan serta peringatan Lembayung yang turut berperang melawan Belanda, akhirnya ia menarik mundur pasukan. Ia lebih memilih berjuang melalui cara yang lain, yaitu mengajarkan para anak cucu dengan mencintai budaya dan negeri. Karena sebaik-baiknya jihad adalah bangsa yang memiliki harga diri.

Sultan Agung menghidupkan kembali Padepokan Jejeran

Di akhir, Lembayung tersenyum lega setelah mengetahui Sinuwunnya lebih memilih cara berperang dengan cara lain yang tanpa harus banjir darah seperti sebelumnya.

B. SETTING

Baik setting tempat, setting waktu, dan setting suasana patut di acungi jempol. Studio alam yang di gunakan benar-benar hampir mirip di era masa mataram. Mulai dari suasana atau latar pedesaan dan Padepokan Jejeran, setting tempat keraton Kota Gede maupun keraton Karta yang dibuat sangat mirip dengan Keroton Jogja yang sebenarnya. Lalu dipenampilan. Dari bentuk pakaian, cara berpakaian, cara berbicara, dan unggah-ungguh lakunya rakyat yang menyembah raja, dan lain-lain masih banyak lagi. 

Suasananya sangat elegan menggambarkan betapa kakunya bab kekeratonan. Di dukung efek lighting yang sangat mempengaruhi suasana, menambah dramatisasi cerita. Di pengaturan latar film inilah aku sangat terpesona. Beribu-ribu film kolosal yang sudah pernah kutonton, Sultan Agung yang menduduki peringkat pertama.

C. ADEGAN

Bayu Ario sebagai Sultan Agung

Dari adegan percakapan biasa, antara Mas Rangsang dengan Lembayung, atau Mas Rangsang dengan Panji Kelono muda. Lalu adegan laga yang tidak dibuat-buat. Maksudnya terlihat real seperti nyata adanya yang tidak disuguhi embel-embel suara dar-dor mengeluarkan tenaga dalam seperti film kolosal yang sudah-sudah. Jadi tidak terlihat dan terkesan lebay. 

Kehadiran figuran dan pemeran pelengkap yang sangat penting. Jadi cerita selama dua setengah jam tidak hanya didominasi pemeran utama. Di sini hebatnya Hanung Bramantyo yang tidak melupakan betapa pentingnya tokoh pembantu dan tokoh figuran.

Selain itu, adegan di mana sedang berperang benar-benar terlihat seperti nyata. Dari dada yang tertembus peluru. Adegan bacok-membacok. Panah yang lepas dari busurnya. Luka-luka dan darah bekas sabetan golok, dan lain-lain.  semua sempurna di sini. Ketika melihat agedan ini, aku exited banget. Ini Mas Hanung bagaimana mendesain semua ini? Make Up artisnya yang luar biasa sehingga luka yang tercipta seakan-akan luka sungguhan. Pokonya aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi tentang film ini. bagiku, kata bagus saja belum cukup untuk mewakili film ini. terus pakai kata apa dong, Ay? 

D  PEMERAN/CAST

Sultan Agung/Raden Mas Rangsang dan Lembayung dewasa

Tapi, walau bagaimanapun, semua aspek sudah sangat bagus. Kemiripan Lembayung muda (Putri Marino) dengan Lembayung deawasa (Adinia Wirasti), kemiripan Raden Mas Rangsang muda (Martin Olio) dengan Raden Mas Rangsang dewasa atau Sultan Agung (Bayu Ario) pemeran Panji Kelono muda dan dewasa. Dan tokoh-tokoh Belanda yang diperankan langsung oleh bangsanya. Semua cast sangat bagus dan mendukung sebagai karakter masing-masing. 

Panji Kelono, Lembayung dan Singoranu (patih) dewasa


E. KEKURANGAN

Namun meski sebegitunya aku mengagumi satu karya ini, tetap saja ada beberapa celah kalau mau melihat dengan lebih jeli. Bukan untuk menjelek-jelekkan, tetapi sebagai kritik saran untuk karya yang sebagus ini agar leih bagus lagi. Cukup disayangkan, ada beberapa scene yang feelnya kurang bisa disentuh, contohnya:

1. Di awal, dalam scene ketika Mas Rangsang di suruh menyebutkan enam anggota kelompok manusia yang masih berhubungan dengan ajaran Kanjeng Sunan Kalijaga, digambarkan bahwa Mas Rangsang mengerti tentang kaum “Meleca”. Tetapi di scene lain, di mana ketika Mas Rangsang sedang ngendikan dengan Ki Jejer karena dilema tentang wahyu keprabon yang dijatuhkan kepada dirinya, Raden Mas Rangsang malah bertanya, “bangsa apa itu, Ki?” ketika Ki Jejer menyebutkan Meleca. 

Keterangan dari kekurangan nomor 1

2. Posisi Ratu Batang sebagai Garwo Patinya Susuhunan Agung sangat tidak terlihat posisinya. Malah keberadaannya jauh lebih kalah dibanding Lembayung, selain hanya intip mengintip pasewakan.
3. Kekurang jelasan Notoprojo, antara bersifat penghianat atau setia kepada rajanya. Bahkan saya perlu dua kali menonton flm ini untuk mengetahui sifatnya Notoprojo serta Panji Kelono yang sebenarnya.
4. Pemeran Raden Mas Rangsang kecil yang wajahnya sangat sangat sangat tidak memiliki kemiripan sama sekali. 

Keterangan kekurangan nomor 4

5. Garpu yang digunakan Dyah Banowati menyuapi Raden Mas Rangsang terlihat seperti garpu biasa. Padahal di zaman kerajaan semuanya terbuat dari emas. Kurang elit.
6. Adegan perang di Benteng VOC di Jayakarta, seolah-olah, pintu gerbang tidak seperti dibobol, tetapi seperti dibukakan oleh penjaga gerbang bentengnya. 

Keterangan kekurangan nomor 6


Jadi... jadi aku bingung sendiri harus memuji dengan kalimat apalagi tentang film ini. buat Mas Hanung Bramantyo, seluruh kru Dapur Film, Studio Alam Gamplong, dan seluruh awak film Sultan Agung, terimakasih sudah menghasilkan karya seindah ini, walaupun aku telat dan tidak nonton langsung di bioskop (hanya nonton di iflix doang huhu sedih dan menyesal), semoga suatu saat kalian mau memfilmkan novel kolosalku juga, ya wkwk.

Pokoknya, teman-teman yang belum nonton Sultan Agung: Tahta, Perjuangan dan Cinta, kalian bisa nonton di Iflix. Jangan sampai kelewatan film yang sebagus ini.

Jangan lupa mampir ke channel YouTube aku, ya...

Find me on account:
Instagram: @ayunda_een
Twitter: @ayunda_een
Wattpad: @ayunda_een

Saturday, January 12, 2019

Geguritanku: Pangabdi Peputra

Pangabdi Peputra

Sapa aku?
Namung putra tanpa gelar apa-apa
Kahurip marga tresnaku mring awakmu
Kabudayan kang tumancep ning ati iki
Seprene janji bakal tak jaga kanthi tekaning pati

Duh, Cah Bagus, katresnananku
Gemati laluku wanci namung kasatyan pambudi
Kangge ngarumat kabadyan bangsa

Lelabuhaning bukti para putra
Ngesemke tresna hambangun rasa
Yen jawi puniki tasih cemantil ing jerone raga
Kagem kangias papan panggonan
Ngukir caritera ing babad Jawa

Apa tha aku iki?
Namung putra biasa
Kanthi tresno tan punapa-punapa

Ayunda Een
YK, 100418

What is The Police Institution's Role, If Every Case Needs to go Viral First Before Take The Action?

Recently, many social media platforms posted criminal cases. Whether it is murder, sexual harassment, robbery, corruption, abuse of authorit...