Tuesday, March 31, 2020

EMPAT IRAMA

Chapter VI
 
Di Saat Kita Mulai Dekat
(Tetap di Musim Dingin Tahun Pertama)

Sama seperti sebelumnya, aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Sampai suatu hari, matematika Tuhan mengajakku bermain. Entah ini yang disebut kebetulan atau keajaiban. Tanpa sengaja aku bertemu lagi dengannya. Tanpa rencana, tanpa praduga.
Siang ini salju mulai berhenti turun. Tetapi sisa-sisa kebekuannya masih terasa sampai ke sumsum tulang. Dingin yang sempat menembus kalbu, tiba-tiba mencair secepat percepatan cahaya di kala tanganmu yang terbungkus sarung tangan menepuk pundak kiriku. Kau bilang minta untuk ditunggu. Menunggu untuk apa maksudmu? Tanyaku dalam hati. Tetapi aku tetap saja mau berhenti dan menunggumu. Lalu berjalan beriringan dengan langkahmu.
Kau bilang saat itu, kau ingin berjalan sejajar denganku. Kalimat yang ambigu menurutku. Aku diam tidak menjawab, pun kau juga tak meminta jawaban dariku. Tanpa mempertimbangkan aku, seperti kejadian sebelumnya, kau bercerita tentang dirimu dan kegiatanmu. Lagi.
Kukira reaksiku tak jauh ubahnya, aku mendengarkanmu dengan seksama. Seperti hukum newton kedua saja. Ibaratnya kau adalah gaya aksi, maka sama dengan aku adalah gaya reaksi. Kau bercerita aku mendengarkannya. Kau bergurau, aku yang tertawa.
Sungguh aneh memang. Tetapi aku menyukainya. Menyukai kau yang manis ketika bernyanyi. Kau yang riang ketika bercerita, kau yang menggemaskan ketika bercanda. Dan kau yang bertingkah unik sesukanya. Kau yang datang dan pergi mewarnai hari. Kau yang misterius, bersikap seakan telah lama mengenal dan dekat denganku. Begitu juga aku, yang tak pernah protes atas kehadiran atau kepergianmu yang selalu mendadak dan tak terkira. Yang tiba-tiba muncul dengan segudang kejutan. Yang juga tiba-tiba menghilang seakan tertimbun gumpalan salju yang berjatuhan dari langit Tuhan. Sungguh senang mengenalmu, lalu menjadi dekat tanpa merasa ada sekat. Menjadikan musim salju terasa lebih hangat. Mengubah pekat menjadi lekat. Membuat kata menjadi karsa. Mencipta senyum yang indah tiada tara.

Wednesday, March 25, 2020

EMPAT IRAMA

Chapter V

Akhirnya Aku Tahu Siapa Nama Pemilik Suara Merdu Itu
(Musim Dingin Tahun Pertama)

Selang musim yang telah berganti, lama aku tak menjumpainya. Mengapa pula aku harus memikirkan dia? Sangat tidak penting pikirku. Tapi bayangannya selalu menggoda benakku. Senyumnya yang manis itu juga suaranya yang merdu. Ah sungguh, mungkinkah aku sedang merinduinya?
Kesal selalu dihantui oleh parasnya, aku memutuskan untuk mengunjungi tempat yang pernah menemukanku dengan dia. Hendak aku pergi ke taman kota, tapi kurasa tidak akan mungkin ada manusia yang mau duduk berdiam diri menikmati salju yang terus menerus turun membekukan bumi. Kuurungkan niatku. Atau ke kampus saja? pikirku teralih. Pun sama, tidak mungkin juga kampus masih ramai mahasiswa, sedang malam sudah berada dalam peraduan.
Benar... kafe itu. Mengapa tak terpikirkan olehku? Bukankah di sana pertama kalinya dia menemukanku? Oh bukan, lebih tepatnya aku yang menemukannya. Menemukan senyumnya.
Dengan segenap kekuatan, kualihkan rasa malasku melawan dingin dan pergi menuju tempat tersebut. Siapa tahu aku bisa melihatnya bernyanyi lagi. Sepertinya hal yang sangat menyenangkan untuk dibayangkan, bukan? Atau aku saja yang terlalu berlebihan. Ah sudahlah, lebih baik, aku bergegas ke sana saja.
Hanya beberapa menit dari flatku, aku sudah tiba di kafe. Dan benar saja akan tebakanku. Begitu aku melewati pintu masuk ruangan tersebut, terdengar suara melankoli yang tak asing bagi telingaku. Sudah pasti yang sedang bernyanyi adalah dia. Pasti.
Lagi-lagi aku mengambil tempat duduk yang paling belakang seperti waktu lalu. Memandangnya dari jauh lebih mengasikkan. Sambil menikmati teh favoritku, sedikit-banyak berharap kalau bisa bertemu pandang dengannya kembali atau sekadar mendapatkan senyum yang khas darinya –yang sebenarnya ia sematkan untuk seluruh pengunjung kafe tersebut.
Kukira, sudah lebih dari dua jam aku menikmati lagu yang ia senandungkan, bersama beberapa jokes recehnya yang membuat semua pengunjung terpingkal, pun diriku. Sampai penghujung waktu harus membuatnya undur diri. Kudengar ia menyebutkan namanya ketika mengakhiri acara.
Akhirnya, sekarang aku tahu siapa namamu. Meski kali ini, aku tak mendapati retina matamu tertangkap oleh lensaku. Juga senyummu, tak singgah barang sedetik saja. sepertinya, malam ini jarak terlalu jauh memisahkan kita. Tetapi, benarkah sejauh itu? Bukankah terdengar lebih dekat, karena sekarang kita sama-sama mengetahui nama kita?

Thursday, March 12, 2020

EMPAT IRAMA

Chapter IV

Kau yang Unik, atau Aku yang Udik?
(Masih di Musim Gugur Tahun Pertama)

Mungkin kau berbicara tentang kebetulan. Tapi aku selalu menganggapnya sebagai takdir. Atau mungkin suatu kebetulan yang ditakdirkan? Atau sebuah takdir yang kebetulan? Sudahlah, apapun itu, aku menyukainya.
Seakan terbang melayang di angkasa sana, menemukan bintang yang paling terang sinarnya sebagai tempat yang paling indah untuk singgah –atau untuk merumah. Itulah kenyataan yang kurasa ketika mendapatimu sedang berada di tempat belajarku. Sungguh, ribuan pertanyaan menyerbu kepalaku. Apakah kedatanganmu ke kampusku adalah sebagai penyanyi bintang tamu dalam acara amal yang sedang diselenggarakan? Atau kau sedang berwisata semata? Ah tapi mana mungkin berwisata ke tempat belajar seperti itu. Yang kuharap dalam daftar-daftar kemungkinan adalah kau juga sebagai pelajar di kampus ini.
Dari jauh aku masih memandangimu. Kulihat kau sedang berdiri bergerombol bersama beberapa kenalanmu. Kau terdengar cukup akrab dengan saling melempar canda dengan mereka. Aku masih memerhatikanmu. Tiba-tiba saja kau tersenyum ketika menemukan aku yang sedang bersembunyi dari balik tatapan penuh pertanyaan.
Tidak lama, kau berlalu dari tempat tersebut. Berjalan gontai menujuku dengan senyuman yang kukira sudah jelas-jelas ditujukan untukku. Matamu terlihat tak berkedip sekalipun menatapku. Di tengah-tengah rasa yang sedang berbunga-bunga, kesadaran diri menghantam keras khayalku. Sungguh, itu hanyalah kemustahilan yang tidak terkira. Memangnya siapa aku sehingga dia akan menghampiriku? Bahkan tersenyum semanis itu? Tuhan! Dengusku dalam hati merutuki diri sendiri.
Tapi... tunggu dulu! tidak... tidak mungkin! Apakah pendengaranku ikut rusak karena ekspektasiku yang terlalu tinggi? Benarkah tadi dia menyapa namaku ketika berlalu di hadapanku? Sungguh, aku tidak bisa memercayai semuanya. Darimana dia tahu namaku? Bahkan beberapa waktu lalu di taman kota, ia tak menanyai siapa namaku. Iya! Dia benar tak mengajakku berkenalan. Lalu, bagaimana ia bisa mengetahui siapa aku? Tentang diriku, kurasa aku tak seterkenal itu, bahkan di kelas pun mungkin tak terlalu banyak yang tahu siapa namaku. Tetapi dia... bagaimana bisa?
Hai, kau sungguh manusia yang sangat unik! Atau mungkin aku yang terlalu udik? Masa bodoh dengan semuanya, saat ini, aku hanya ingin tahu siapa namamu. Bisakah aku?

What is The Police Institution's Role, If Every Case Needs to go Viral First Before Take The Action?

Recently, many social media platforms posted criminal cases. Whether it is murder, sexual harassment, robbery, corruption, abuse of authorit...