Chapter VI
Di Saat Kita Mulai Dekat
(Tetap di Musim Dingin Tahun Pertama)
Sama seperti sebelumnya, aku menjalani
hari-hariku seperti biasa. Sampai suatu hari, matematika Tuhan mengajakku
bermain. Entah ini yang disebut kebetulan atau keajaiban. Tanpa sengaja aku
bertemu lagi dengannya. Tanpa rencana, tanpa praduga.
Siang ini salju mulai berhenti turun.
Tetapi sisa-sisa kebekuannya masih terasa sampai ke sumsum tulang. Dingin yang
sempat menembus kalbu, tiba-tiba mencair secepat percepatan cahaya di kala
tanganmu yang terbungkus sarung tangan menepuk pundak kiriku. Kau bilang minta
untuk ditunggu. Menunggu untuk apa maksudmu? Tanyaku dalam hati. Tetapi aku
tetap saja mau berhenti dan menunggumu. Lalu berjalan beriringan dengan
langkahmu.
Kau bilang saat itu, kau ingin berjalan
sejajar denganku. Kalimat yang ambigu menurutku. Aku diam tidak menjawab, pun
kau juga tak meminta jawaban dariku. Tanpa mempertimbangkan aku, seperti
kejadian sebelumnya, kau bercerita tentang dirimu dan kegiatanmu. Lagi.
Kukira reaksiku tak jauh ubahnya, aku
mendengarkanmu dengan seksama. Seperti hukum newton kedua saja. Ibaratnya kau
adalah gaya aksi, maka sama dengan aku adalah gaya reaksi. Kau bercerita aku
mendengarkannya. Kau bergurau, aku yang tertawa.
Sungguh aneh memang. Tetapi aku
menyukainya. Menyukai kau yang manis ketika bernyanyi. Kau yang riang ketika
bercerita, kau yang menggemaskan ketika bercanda. Dan kau yang bertingkah unik
sesukanya. Kau yang datang dan pergi mewarnai hari. Kau yang misterius,
bersikap seakan telah lama mengenal dan dekat denganku. Begitu juga aku, yang
tak pernah protes atas kehadiran atau kepergianmu yang selalu mendadak dan tak
terkira. Yang tiba-tiba muncul dengan segudang kejutan. Yang juga tiba-tiba
menghilang seakan tertimbun gumpalan salju yang berjatuhan dari langit Tuhan. Sungguh
senang mengenalmu, lalu menjadi dekat tanpa merasa ada sekat. Menjadikan musim
salju terasa lebih hangat. Mengubah pekat menjadi lekat. Membuat kata menjadi
karsa. Mencipta senyum yang indah tiada tara.