Chapter V
Akhirnya Aku Tahu Siapa Nama Pemilik Suara Merdu Itu
(Musim Dingin Tahun Pertama)
Selang musim yang telah berganti, lama
aku tak menjumpainya. Mengapa pula aku harus memikirkan dia? Sangat tidak
penting pikirku. Tapi bayangannya selalu menggoda benakku. Senyumnya yang manis
itu juga suaranya yang merdu. Ah sungguh, mungkinkah aku sedang merinduinya?
Kesal selalu dihantui oleh parasnya, aku
memutuskan untuk mengunjungi tempat yang pernah menemukanku dengan dia. Hendak
aku pergi ke taman kota, tapi kurasa tidak akan mungkin ada manusia yang mau
duduk berdiam diri menikmati salju yang terus menerus turun membekukan bumi.
Kuurungkan niatku. Atau ke kampus saja? pikirku teralih. Pun sama, tidak
mungkin juga kampus masih ramai mahasiswa, sedang malam sudah berada dalam
peraduan.
Benar... kafe itu. Mengapa tak
terpikirkan olehku? Bukankah di sana pertama kalinya dia menemukanku? Oh bukan,
lebih tepatnya aku yang menemukannya. Menemukan senyumnya.
Dengan segenap kekuatan, kualihkan rasa
malasku melawan dingin dan pergi menuju tempat tersebut. Siapa tahu aku bisa
melihatnya bernyanyi lagi. Sepertinya hal yang sangat menyenangkan untuk
dibayangkan, bukan? Atau aku saja yang terlalu berlebihan. Ah sudahlah, lebih
baik, aku bergegas ke sana saja.
Hanya beberapa menit dari flatku, aku
sudah tiba di kafe. Dan benar saja akan tebakanku. Begitu aku melewati pintu
masuk ruangan tersebut, terdengar suara melankoli yang tak asing bagi
telingaku. Sudah pasti yang sedang bernyanyi adalah dia. Pasti.
Lagi-lagi aku mengambil tempat duduk
yang paling belakang seperti waktu lalu. Memandangnya dari jauh lebih
mengasikkan. Sambil menikmati teh favoritku, sedikit-banyak berharap kalau bisa
bertemu pandang dengannya kembali atau sekadar mendapatkan senyum yang khas
darinya –yang sebenarnya ia sematkan untuk seluruh pengunjung kafe tersebut.
Kukira, sudah lebih dari dua jam aku
menikmati lagu yang ia senandungkan, bersama beberapa jokes recehnya yang membuat semua pengunjung terpingkal, pun
diriku. Sampai penghujung waktu harus membuatnya undur diri. Kudengar ia
menyebutkan namanya ketika mengakhiri acara.
Akhirnya, sekarang aku tahu siapa
namamu. Meski kali ini, aku tak mendapati retina matamu tertangkap oleh
lensaku. Juga senyummu, tak singgah barang sedetik saja. sepertinya, malam ini
jarak terlalu jauh memisahkan kita. Tetapi, benarkah sejauh itu? Bukankah
terdengar lebih dekat, karena sekarang kita sama-sama mengetahui nama kita?
No comments:
Post a Comment